PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN

Iklan Semua Halaman

.

PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN

Selasa, 10 Desember 2019

                 
                     Oleh (Muhammadong,S.Sos.M.M)

Kepemimpinan merupakan topik yang sangat apik untuk dibicarakan, dan kepemimpinan merupakan proses memberikan inspirasi orang lain untuk bekerja keras guna menyelesaikan tugas-tugas yang penting. Para Ahli memberikan definisi yang beragam tentang kepemimpinan. Menurut Goorge R. Terry (2005:192) “Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang atau pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang lain menurut keinginan-keinginannya dalam suatu keadaan tertentu.” Sedangkan Warren Bennis dalam bukunya “Leader, The Strategies for Taking Change”, mengatakan kepemimpinan perlu untuk menolong organisasi, mengembangkan pandangan baru, bagaimana supaya mereka dapat maju, kemudian memobilisasi perubahan organisasi menuju pandangan baru. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi: Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuasakan.

Dalam kesempatan lain, Lok dan Crawford (2001) memandang kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan. Sejalan dengan uraian di atas, Andrews dan Field (dalam Nugroho, 2006) menyimpulkan 3 (tiga) elemen penting yang harus ada dalam kepemimpinan yaitu: pemimpin, yang dipimpin, dan interaksi di antara keduanya. Tanpa ketiga elemen penting tersebut, maka kepemimpinan tidak akan pernah ada. Keith Davis mengikhtisarkan ada 4 ciri utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan dalam organisasi : a). Kecerdasan (intellegence). b). Kedewasaan sosial  (social maturity and breadth). c). Motivasi diri dan dorongan berprestasi (untuk nilai intrinsik dan ekstrinsik). d). Sikap-sikap hubungan manusiawi. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut-pengikutnya.  

Uraian definisi kepemimpinan banyak dirumuskan oleh beberapa ahli dan setiap pendapat yang dirumuskan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi di mana rumusan definisi kepemimpinan itu dilahirkan. Menurut pandangan Muslim (2008) yaitu: Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang paling banyak diminati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Hal tersebut tampak jelas dalam perkembangan kepemimpinan, banyak definisi yang dikemukakan untuk merumuskan konsep “kepemimpinan ”. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu akan dikemukakan teori-teori kepemimpinan sebagai berikut :
a. Teori Great Man (Genetik) dan Teori Big Bang.
                   
Teori ini sering disebut dengan istilah teori genetis dengan asumsi bahwa pemimpin itu dilahirkan (The leaders to born not made). “ Pemimpin itu dilahirkan bukan di buat “ Kepemimpinan merupakan bakat atau bawaan dari lahir dari kedua orang tua. Menurut Bennis dan Nanus teori great man melihat kekuasaan berada pada sejumlah orang tertentu, melalui proses pewarisan. Dengan kata lain pemimpin menurut teori ini berasal dari keturunan tertentu yang berhak menjadi pemimpin sedangkan orang lain tidak memilki pilihan selain menjadi orang yang dipimpin. Sebagaimana ungkapan yang mengatakan “ Dari raja menjadi raja ”   yakni anak raja menjadi putra Mahkota yang bakal menjadi raja. Kepemimpin dari warisan ini juga disebut dengan teori kepemimpinan genetik yakni pemimpin itu tidak di buat, akan tetapi lahirkan, melalui bakat-bakat alami sejak lahir. Selanjutnya teori Big Bang yakni teori kepemimpinan yang mengatakan bahwa suatu peristiwa besar menciptakan atau dapat menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Terdapat sebuah situasi, perstiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian besar seperti revolusi, kekacauan atau kerusuhan, pemberontakan, reformasi dan lainnya yang memunculkan seseorang menjadi pemimpin. Kemudian pengikut atau pendukung menokohkan orang tersebut dan bersedia taat pada keputusan-keputusan, perintah-perintah yang diberikan dalam kejadian atau peristiwa tersebut.
b. Teori Sifat atau Karakteristik Kepribadian 
           
Kepribadian adalah salah satu faktor khas dan unik yang mendasari perilaku pemimpin. Hal ini mengandung dua hal penting pertama, teori kepribadian selalu menggambarkan apa yang sudah menjadi kebiasaan seseorang dengan orang lain dan apa yang sudah membentuknya dalam waktu tertentu. kedua, kepribadian pemimpin sebagai manusia yang stabil, maksudnya kepribadian dapat berubah. secara mendadak dan dramatis, Serupa konsepsinya dengan teori great man, teori sifat mengasumsikan bahwa manusia mewarisi sifat-sifat tertentu yang membuat mereka yeng lebih cocok untuk menjalankan fungsi kepemimpinan (Sudaryono). namun teori ini tidak menutup kemungkinan sifat dan kepribadian yang diperoleh dari pengalaman dan hasil belajar. Menurut George R. Terry dalam bukunya The Principles of Management, 1964 terdapat sepuluh sifat pemimpin yang unggul yaitu; (1) kekuatan, (2) stabilitas emosi, (3) pengetahuan relasi insane, (4) kejujuran, (5) objektif, (6) dorongan pribadi, (7) keterampilan berkomunikasi, (8) kemampuan mengajar, (9) keterampilan sosial, (10) kecakapan teknis dan kecakapan manajerial.  
c. Teori Kepemimpinan Berbagi Kekuasaan
        
Kepemimpinan merupakan proses interaksi kekuasaan antara pemimpin dan para pengikutnya. Dalam hubungan pemimpin dan para pengikut dapat saling memberikan kebebasan untuk menggunakan kekuasaannya dalam mencapai tujuan bersama. Kebebasan ini melahirkan dimensi kebebasan pemimpin dan pengikut, dimensi kebebasan pemimpin ialah; (1) merasa berhak menentukan hak dan kewajiban para pengikut, (2) menggunakan hak prerogatifnya, (3) menggunakan kekuasaan proporsional dan personalnya, (4) pengikut wajib mematuhi hak prerogatif dan kekuasaan pemimpin, (5) mendelegasikan pengambilan keputusan kepada para pengikutnya, dan (6) mempunyai hak dan kewajiban untuk menghukum pengikut jika tidak mematuhi pemimpin. Sedangkan kebebasan dimensi pengikut untuk menggunakan kekuasaannya dalam beberapa hal yakni; (1) berinisiatif, berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugasnya, (2) mengambil keputusan dalam melaksanakan tugasnya, (3) menolak hak prerogatif dan kekuasaan pemimpin jika tidak sesuai dengan peraturan dan kelayakan. Dengan adanya dimensi kebebasan tersebut pemimpin dan pengikut sama-sama memiliki tanggungjawab dan hak dalam melaksanakan tujuan bersama.
d. Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Islam
           
Dalam sejarah Islam banyak diantara sahabat perempuan yang bekerja misalnya menjadi guru seperti Shuhrah, al-Khasana’, Rabiah al-Dawiyah dan lainnya.  Terdapat pula kaum perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Seperti Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad SAW. ketika memberi jaminan keamanan sementara kepada orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad SAW. sendiri, yakni Aisyah R.A., memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki  jabatan Khalifah ke- 4 dari kekhalifaan Islam.   Riffat Hassan ( 1990 ).  
 Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman R.A. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). 

Keterlibatan Aisyah R.A. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan wanita dalam politik praktis sekalipun. Meskipun kisah sejarah telah menyebutkan beberapa peran perempuan dalam ranah publik, tetap saja ada yang menolak kepemimpinan perempuan di ranah publik, seperti Abbas Mahmud al-Aqqad. Dia menjadikan perbedaan fisik dan biologis sebagai landasan perbedaan tanggung jawab sosial yang diemban oleh laki-laki dan perempuan. Dengan adanya perbedaan tanggung jawab sosial ini, maka laki-laki dinilai lebih berhak menjadi pemimpin karena laki-laki sudah terbiasa bertanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat. 

Sedangkan perempuan bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Ia mengatakan hak kepemimpinan bersumber pada kesanggupan alamih yang tentu lebih dimiliki oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan. Lebih jauh ia menyebutkan kerajaan seorang perempuan ada dalam rumah tangga, sedangkan kerajaan lak-laki ada dalam perjuangan hidup. Abbas Mahmud al-Aqqal, Filsafat al-Qur’an: Filsafat Spiritual dan Sosial dalam Isyarat al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).  
Argument lain yang tidak memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin muncul dari hadis Abu Bakrah yang sanad dan muatannya dianggap shahih, karena berada dalam kitab shahih Bukhori yang mendapat lebel sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Dalam syarahnya Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadis “ Lan Yufliha Alqoum Walau Amarahum Imra’ah ” adalah merupakan kelanjutan dari respon Kisra terhadap dakwah Rasulullah SAW. melalui surat yang dikirimnya. Dalam hadis Ibnu Abbas dijelaskan bahwa Rasulullah mengirim surat kepada Kisra, kemudian ia merobek-robek surat tersebut. 

Ketika Rasulullah mendengar hal itu, beliau berdo’a agar Allah menghancurkan Kisra dan bala tentaranya. Maka tak lama kemudian Kisra dibunuh oleh Syiruyah putranya sendiri, enam bulan kemudian putranya meninggal karena meminum racun yang telah disiapkan Kisra sebelum dia dibunuh putranya (karena Kisra mencium gelagat pengkhianatan putranya, Kisra telah menyiapkan racun yang dilabeli ramuan mujarab agar putranya kelak tergoda meminumnya). Putra kisra tidak memiliki keturunan laki-laki dan sementara saudara laki-lakinya telah ia bunuh agar tidak menggulingkan tahtanya. Akhirnya anak perempuan Syiruyah naik tahta untuk menggantikan ayahnya. Dari kisah tersebut dalam tafsir Qurthubi menukil hadis Abu Bakrah kemudian diikuti oleh pendapat Ibnu Arabi bahwa berdasarkan hadis ini ulama sepakat bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menjadi pemimpin. 

Para ulama klasik bersepakat bahwa yang dimaksud dengan imra’ah dalam hadis tersebut bukan hanya bintu Kisra, namun perempuan pada umumnya, dan yang dimaksud qaum mencakup semua kaum yang dipimpin oleh seorang perempuan. Berbeda dari ulama klasik, ulama kontemporer memiliki interpretasi lain seperti Yusuf Qardhawi, menurutnya hadis Abu Bakrah harus difahami dengan menggunakan kaidah yang ditawarkan Ibnu Abbas. Karena apabila kita menggunakan kaidah al ‘ibrah bi umum al-lafdzi la bikhusus as-sabab, maka akan terjadi kontradiksi antara hadis Abu Bakrah dengan al-Qur’an yang menceritakan kisah sukses kepemimpinan Ratu Balqis, seorang pemimpin wanita yang memimpin rakyatnya dengan bijaksana, mengantarkan mereka menuju sukses dunai, akhirat. 
 Bahkan Muhammad Imarah menegaskan bahwa walaupun dari sisi riwayat, hadis Abu Bakrah tidak bisa kita ragukan, namun dalam sisi subtansi harus kita fahami bahwa hadis ini lebih dekat kepada sebuah prediksi politik dari pada sebuah legatimasi hukum.
 Salah satu ulama’ Indonesia yang mendukung perempuan untuk menjadi pemimpin adalah Nasrudin Umar, seorang cendikiawan muslim kontemporer yang mengatakan bahwa tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan landasan kuat untuk melarang perempuan menjadi pemimpin. Hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh perempuan untuk terjun kedalam dunia politik baik sebagai pejabat atau pemimpin Negara. Ia juga menegaskan bahwa kata khalifah pada surah al-Baqarah: tidak merujuk kepada satu jenis kelamin tertentu, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai khalifah di bumi yang akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah. 
Partisipasi dan kepemimpinan perempuan tidak hanya merupakan prasyarat penting untuk pengentasan kemiskinan dan mengatasi ketidaksetaraan gender, itu juga merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Perjanjian dan konvensi hak asasi manusia internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Platform Aksi Beijing, dan Tujuan Pembangunan Milenium ketiga tentang kesetaraan gender, mengakui bahwa perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi secara setara dengan laki-laki di semua tingkatan dan dalam semua aspek kehidupan publik dan pengambilan keputusan, apakah itu memutuskan bagaimana pendapatan rumah tangga dibelanjakan atau menentukan bagaimana negara dijalankan, dan konvensi semacam itu mengikat para penandatangan untuk merealisasikan tujuan ini. Terlepas dari komitmen untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam struktur formal representasi dan pengambilan keputusan, perempuan terus kurang terwakili dalam semua bidang pengambilan keputusan dan menghadapi hambatan signifikan terhadap partisipasi penuh dan setara mereka dalam struktur dan lembaga yang mengatur, dan secara langsung mempengaruhi, kehidupan mereka (Hoare & Gell, 2009: 2).
b. Perbandingan Tingkat Kesuksesan Kepemimpinan Perempuan dan Kepemimpinan Pria dalam level politik. 
                
 Seiring dengan kemajuan kesetaraan gender, posisi teratas di bidang Pemerintahan dan perusahaan swasta kini tak lagi didominasi oleh pria. Sudah banyak wanita yang jadi pemimpin di dunia kerja. Istilah yang sering dipakai saat ini adalah lady boss. Pria dan wanita memang beda, sehingga dalam kepemimpinan pun mereka memiliki gaya dan pendekatan yang berbeda. Misalnya saja dalam kemampuan berkomunikasi yang dianggap lebih lincah dan juga mahir melakukan beberapa tugas sekaligus (multitasking). 

Menurut Presiden Direktur Watsons Indonesia, Lilis Mulyawati, dalam kemampuan manajerial sebenarnya perempuan bisa sama dengan koleganya yang laki-laki, bahkan lebih. “ Kelebihan dari para bos perempuan ini adalah juga harus punya kemampuan menyeimbangkan hidup dengan keluarga. Ia juga harus memperhatikan keluarganya, mengatur rumah, dan mengontrol asisten rumah tangga,” kata Lilis., Tanggung jawab pada urusan domestik semacam itu, menurut Lilis, memang tidak sebesar pada kaum pria.  

“ Ada saatnya juga wanita harus melahirkan, mengambil raport anak, atau mengurus anak yang sedang sakit. Multitasking semacam itu yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Ditambahkan oleh Yenny Wahid, fenomena lady boss memberikan sentuhan yang berbeda dalam lingkungan pekerjaan. “ Para lady boss ini lebih punya pengertian, lebih bisa memacu anak buah, dan menggabungkan kelembutan dan ketegasan,” kata Yenny. Perempuan yang sudah berhasil mencapai puncak karier, menurut dia, berarti sudah membuktikan dirinya seorang pekerja keras. “ Pasti para bos wanita itu adalah orang yang terbiasa juggling, multitasking, dan biasa memanage TIM