![]() |
Foto Kuasa Hukum Erwin, Dedy, SH., Foto Ist. |
Kabupaten Bima, Fajar Media. Com,- Langkah hukum yang diambil oleh Erwin atas tuduhan yang tidak bersumber dari M.PLN memantik perdebatan publik soal batas antara kritik dan fitnah.
Sebagian kecil kalangan memandang langkah yang diambil Erwin itu sebagai bentuk alergi terhadap kritik dan tidak sejalan dengan Putusan MKRI. Namun, kuasa hukum Erwin, Dedy, SH, menegaskan bahwa laporan tersebut justru berlandaskan hukum yang sah, sejalan dengan UU ITE terbaru dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024.
“Amar putusannya, MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 sudah ditegaskan bahwa korban pencemaran nama baik menurut Pasal 27A UU ITE adalah individu, bukan lembaga, institusi, profesi, atau jabatan. Dan karena ini delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada pengaduan dari orang yang dirugikan, maka ketika laporan Erwin diajukan secara pribadi, secara hukum sudah tepat dan laporan itu sah secara formil maupun materil," tegas Kuasa Hukum Erwin.
Terhadap narasi yang selalu dinaikkan bahwa laporan itu menabrak Putusan MKRI, menurut Dedy, itu pandangan yang keliru dan biasanya pandangan yang keliru lahir karena kemalasan yang tidak membaca secara keseluruhan mulai dari ratio decidendi hingga amar putusan dalam putusan a quo. Perubahan UU ITE melalui UU Nomor 1 Tahun 2024 Menurut Dedy, unsur delik Pasal 27A terpenuhi: tuduhan terhadap Erwin disebarkan melalui media elektronik, dilakukan tanpa dasar, dan merugikan nama baik pribadi dan deliknya adalah delik formil, bukan meteril.
“Erwin melapor sebagai individu yang merasa kehormatannya dicemarkan, bukan sebagai Wakil Ketua DPRD. Itu sejalan dengan putusan MK. Justru posisi klien kami sangat sesuai dengan norma hukum terbaru. Ini bukan perasaan, tetapi norma hukum. Pasal 27A jelas melindungi individu dari serangan fitnah di ruang digital. Karena delik itu adalah delik formil penegakannya cukup dengan adanya actus reus, jika sudah ada actus reus maka unsurnya terpenuhi," ujarnya.
Kuasa hukum pelapor juga mengingatkan bahwa demokrasi tidak berarti kebebasan tanpa batas. “Kritik itu sah, tapi harus berbasis data. Jika tuduhan tanpa bukti dianggap kritik, maka demokrasi kita akan rusak," jelasnya.
Menurut Dedy, fitnah yang dibiarkan hanya akan menciptakan ruang publik yang gaduh dan tidak sehat.
“Hukum hadir untuk memberi batas agar kebebasan berekspresi tidak melanggar hak asasi orang lain. Dan mastikan pihaknya akan mengawal kasus ini dengan cara-cara konstitusional,".
“Kami tidak anti kritik. Justru kami ingin ruang demokrasi diisi oleh kritik yang sehat, bukan fitnah. Laporan ini adalah cara kami menjaga marwah hukum dan keadilan,”. tutupnya. (Red)