![]() |
Syaifudin, aktivis dari Front Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Foto Ist. |
Jakarta, Fajar Media.Com,- Dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, kini menjadi sorotan tajam publik. Sejumlah pihak menilai proyek tersebut sarat kejanggalan, mulai dari proses penganggaran hingga mekanisme tender yang dianggap tidak transparan.
Syaifudin, aktivis dari Front Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), turut memantau kasus ini. Berdasarkan penuturannya, bahwa sejak awal penganggaran proyek senilai Rp131,7 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan 30 M dari Dana Alokasi Umum (DAU) kota Bima telah menunjukkan indikasi lemahnya perencanaan. Sebanyak Rp30 miliar dari total anggaran itu bahkan telah disahkan DPRD sebagai dana sharing untuk pembangunan fasilitas penunjang ruang rawat inap dianggap masih kurang memadai.
Namun, perdebatan sengit di internal DPRD Kota Bima sempat mencuat saat pembahasan anggaran berlangsung, hingga salah satu fraksi memutuskan melakukan walk out sebagai bentuk protes. Hal ini memperkuat dugaan adanya ketidaksesuaian dalam penyusunan dan pengesahan anggaran proyek tersebut.
Proyek gedung induk RSUD sendiri saat ini tengah dikerjakan oleh PT. Hutama Karya dengan nilai kontrak Rp130,38 miliar. Namun, penunjukan PT. Hutama Karya menuai pertanyaan publik karena mengalahkan PT. Nindya Karya yang justru menawarkan harga lebih rendah, yakni Rp127,91 miliar yang ditawarkan oleh PT. Nindia Karya. Sampai saat ini, belum ada penjelasan dari panitia lelang maupun pokja pengadaan mengenai alasan mendasar atas keputusan tersebut.
Lebih lanjut, muncul dugaan bahwa proyek ini dijadikan ajang bagi-bagi keuntungan atau bancakan, mengingat vendor dan penyedia material yang terlibat disebut-sebut memiliki keterkaitan erat dengan lingkaran kekuasaan.
Kecurigaan publik semakin menguat ketika proyek pembangunan fasilitas penunjang senilai Rp30 miliar yang telah disahkan DPRD hingga kini belum juga ditenderkan. Pihak eksekutif bahkan mengajukan tambahan anggaran dengan alasan bahwa dana yang tersedia tidak cukup setelah dibuat perencanaan baru. Langkah ini mengundang reaksi keras dari masyarakat dan anggota DPRD, yang mempertanyakan kejelasan dan rasionalisasi penambahan anggaran, apalagi rencana eksekusi proyek tersebut disebut-sebut akan dilakukan dengan skema multi years.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak terkait. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diajukan oleh Pemuda dan Masyarakat Pemerhati Hukum dan Kebijakan Pemerintah Kota Bima (PMPHKP) ke DPRD Kota Bima pun gagal menghadirkan pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Danil Akbar. Ketua Dewan Pimpinan Propinsi (DPP) Resimen Brugade 571 Tri Sula Macan Putih Daerah Khusus Jakarta. sekaligus putra daerah Bima, mengaku kecewa dengan respon DPRD Kota Bima. Di hadapan Ketua Komisi I, ia mendesak agar RDP ulang segera digelar dengan menghadirkan seluruh pihak terkait. Hal ini dinilai penting untuk memperjelas persoalan ini dan memberikan informasi yang jernih kepada masyarakat serta media, demi memastikan pembangunan RSUD Kota Bima berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.
"Pada prinsipnya kita mendukung pembangunan RSUD kota Bima, karena itu kebutuhan rakyat, tapi Ini bukan hanya soal pembangunan, tapi soal transparansi, profesionalisme dari setiap prosesnya agar pembangunan itu sesuai ekspektasi semua pihak, dan dapat memenuhi harapan masyarakat akan hadirnya pembangunan daerah yang akuntable, profesional dan bermartabat, hingga pada pemberian pelayanan kesehatan yang layak dan bermartabat ke depan. Tentunya harus dimulai dari proses yang benar sejak awal dan menjunjung tinggi azas hukum dan sesuai aturan hidup bernegara ini dengan baik." ujar Danil. (Tim)