Mengenang Bencana April 1815 ( Bagian 3 )

Iklan Semua Halaman

.

Mengenang Bencana April 1815 ( Bagian 3 )

Kamis, 09 April 2020


Oleh : Alan Malingi 

Kabupaten Bima, Fajar Media Bima.com,- Kerajaan Sanggar yang terletak sekitar 35 KM arah tenggara dari sumber letusan adalah yang paling dekat saat itu.  Perwira Angkatan Laut Inggris Letnan Owen Philips mencatat kesaksian Raja Sanggar ketika letusan tanggal 10 April itu terjadi. Owen Philips membawa misi kemanusiaan memberikan tanggap darurat ke Tambora dan sekitarnya. Namun setelah tiba di Tambora dia tidak lagi menemukan manusia. Akhirnya Owen Philips bertemu dengan Raja Sanggar.

Berikut kutipan penuturan Raja Sanggar :
“ Tiga kolom api keluar dari dalam gunung, tubuh api cair,keluar mengalir ke segala arah. Lalu antara pukul sembilan dan sepuluh abu mulai turun, dan segera setelah itu angin puyuh keras, meniup dan merobohkan hampir setiap rumah di Sanggar, puncak atau atap rumah melayang disertai kilat cahaya. “

Raja Sanggar juga menceritakan situasi laut dan pantai di perairan laut Flores kala itu.“Air laut naik hampir dua belas kaki lebih tinggi daripada yang diketahui sebelumnya, dan benar-benar menyapu lahan padi di Sanggar, rumah dan segala sesuatu dalam jangkauan-nya.

“Dari sumber Wikipedia,  Letusan gunung  Tambora terdengar hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000 di antaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut. Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh, tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang terlalu tinggi. Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan perubahan iklim dunia.

Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.

Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April 1815.

Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.

Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena.

Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.

Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.

Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.

Sumber :
1. Thomas Stamford Raffles, The History Of Java
2. Tim Arkeologi, Tambora Menyapa Dunia 2015
3. Story Foto Tim Arkeologi di ruangan Sultan Abdul Hamid Museum Asi Mbojo
4. Wikipedia.(TIM)