Polemik RUU “CILAKA” dalam Omnibus Law, Siapa Terkena Petaka?

Iklan Semua Halaman

.

Polemik RUU “CILAKA” dalam Omnibus Law, Siapa Terkena Petaka?

Selasa, 17 Maret 2020

(Penulis : Zainul Rahman)
 (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan,)
(Universitas Muhammadiyah Malang)

Malang Fajar Media Bima.com,- Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang kini berganti nama menjadi Cipta Kerja akhir-akhir ini begitu hangat dalam perbincangan masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, sebab RUU Cipta Kerja ini diyakini dapat merugikan berbagai kalangan masyarakat dan juga kelestarian lingkungan.

Pemerintah pada dasarnya menciptakan Omnibus Law terlebih khususnya RUU Cipta Kerja ini bertujuan agar adanya penyederhanaan regulasi supaya setiap peraturan saling terkait atau berkorelasi satu sama lain.

 Omnibus Law atau dalam tenarnya disebut dengan aturan “Sapu Jagat” nantinya akan menyapu bersih peraturan-peraturan yang sebelumnya berlaku, atau dalam arti lain dengan hadirnya Omnibus Law mampu menjadikan peraturan-peraturan agar lebih kompleks.

Hadirnya Rancangan Undang-undangan Cipta Kerja menuai begitu banyak reaksi dari berbagai kalangan, baik dari himpunan para buruh, pengusaha, pakar hukum, pakar lingkungan hingga dari kalangan mahasiswa.

Reaksi yang bermunculan pun bervariatif, tentu ada yang pro dan juga kontra. Reaksi pro atau setuju terhadap RUU Cipta Kerja tentu banyak datang dari pengusaha atau kalangan serupa lainnya. Sementara di sisi yang berlawanan, datang dari kalangan buruh, mahasiwa dan seputarnya  yang dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja ini.

Hal tersebut dapat terlihat nyata sebab akhir-akhir ini berbagai aliansi yang kontra terhadap RUU Cipta Kerja tersebut melakukan penolakan yang direfleksikan dalam aksi demonstrasi di berbagai kota di Indonesia. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar dan berbagai kota besar lainnya di Indonesia pun menjadi inisiatif serangan perlawanan dalam penolakan RUU Cipta Kerja yang dinilai akan menjadi celaka dan petaka bagi negeri ini nantinya.

Merujuk pada tema besar pembahasan, penulis akan menyampaikan beberapa polemik dalam RUU Cipta Kerja yang dinilai menjadi akar kontroversi yang terjadi belakangan ini.

Draf RUU Cipta Kerja kurang lebih berisi 1028  halaman, yang membahas berbagai hal, dari peningkatan ekosistem investasi, ketenagakerjaan, hingga jaminan sosial. Regulasi yang menjadi kontroversi hadir seputar bagaimana nasib dan kesejahteraan kaum buruh dan pekerja kedepannya, juga terkait kelestarian lingkungan yang dinilai tidak tendensius terhadap ekosistem.

Kini, muncul pertanyaan siapa yang benar-benar celaka dan terkena petaka terkait RUU Cipta Kerja dalam model Omnibus Law ini?. Maka penulis berasumsi bahwa para pekerja dan buruh adalah jawaban utamanya.

 Bagaimana tidak, misalnya dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan termaktub jelas bahwasannya kesejahteraan buruh adalah hal yang fundamen untuk diperhatikan. Jika dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 penentuan upah itu berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sementara dalam RUU Cilaka hanya berdasarkan satuan kerja dan satuan waktu. Hal ini tentu akan memperlemah kesejahteraan buruh. Di sisi lain, Omnibus Law terkait RUU Cipta Kerja juga mengatur terkait fleksibilitas hubungan kerja.

Omnibus Law Cipta Kerja menghapus pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengatur jenis dan sifat pekerjaan apa saja untuk pekerja kontrak. Dengan dihapusnya pasal ini dalam Omnibus Law, perusahaan bisa saja merekrut pekerja dengan status kontrak dan tidak pernah mengangkat pekerja tetap untuk meminimalisir pengeluaran.

Peraturan lain dalam RUU Cipta Kerja yang dinilai akan memperkosa kesejahteraan para pekerja dan buruh yakni terkait jam kerja. Di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, jam lembur maksimal diatur bahwasannya 3 jam untuk satu hari, dan itupun seringkali tidak dibayar.

 Kini dalam Omnibus Law Cipta Kerja, menjadi 4 jam (bertambah 1 jam). Penambahan jam lembur ini bisa diartikan bahwa buruh atau pekerja nantinya dapat bekerja selama 12 jam, yakni 8 jam kerja wajib dan 4 jam kerja tambahan atau lembur. Selain itu, ada problem lain yang juga muncul terkait adanya RUU Cipta Kerja ini. RUU Cipta Kerja dinilai akan mengancam hak buruh atau pekerja perempuan.

Menurut Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi, masih banyak buruh perempuan yang menerima upah di bawah upah minimum. 62,4% menerima upah sesuai UMP, 26,8% menerima upah di bawah minimum, dan 10,9% tidak mampu mengidentifikasi jumlah upahnya karena bergantung pada target harian. 

Hal yang terjadi tersebut justru meberikan distingsi dan atau kontradiksi dengan pernyataan Presiden Jokowi dalam KTT G20 yang menyatakan dengan lugas bahwa “Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu hal yang akan dilihat penting oleh negara. Oleh sebab itu, pemberdayaan ekonomi terhadap perempuan juga dipandang sebagai prioritas negara”.

Melihat realitas tersebut, seakan menjadi sebuah omong kosong atas pernyataannya ketika merujuk pada RUU Cipta Kerja yang mengabaikan hak-hak pekerja, khususnya para pekerja perempuan itu sendiri.

Selain merugikan masyarakat yang terkhususnya para buruh dan pekerja seperti yang diulas sebelumnya. Ada masalah lain yang juga urgent  untuk dibahas. Masalah lain yang diyakini akan timbul terkait adanya RUU Cipta Kerja adalah kelestarian lingkungan, dan tentunya masyarakat umum juga akan dapat berdampak pada problem ini. Beberapa ketentuan hukum yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja di antaranya soal kemudahan bagi perusahaan tambang melanjutkan dan meluaskan wilayah pertambangan.

Padahal, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), pertambangan yang statusnya operasi produksi (OP) dibatasi tidak bisa sampai 15 ribu hektare. Hal ini nantinya dapat mengharuskan terjadinya penggusuran bagi pemukiman masyarakat di area sekitar pertambangan.

Berikutnya, RUU ini juga dinilai berpotensi 'melonggarkan' izin lingkungan dan AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam RUU tersebut nantinya diyakini hanya diperuntukkan untuk kegiatan yang berisiko tinggi. Sementara kita mafhum sendiri bahwa kegiatan pertambangan pada umumnya selalu beresiko merusak lingkungan dan akan berdampak langsung terhadap masyarakat.

Konklusi yang dapat ditarik oleh penulis dalam permasalahan yang tengah ramai diperbincangkan oleh publik ini yaitu: RUU Cipta Kerja yang juga telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020 ini pada dasarnya diinisiasi oleh pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara dengan mempermudah investasi, melalui penyederhanaan regulasi. Peraturan-peraturan yang dinilai tendensius kepada investor merupakan mahar yang diciptakan oleh pemerintah untuk mempersunting investor itu sendiri.

Di sisi lain, ada kalangan-kalangan yang akan terkena petaka dari RUU tersebut, seperti yang diulas sebelumnya. Oleh sebab itu, penulis menilai harus dilakukannya pengkajian mendalam mengenai RUU Cipta Kerja yang termuat dalam Omnibus Law ini agar tidak merugikan banyak pihak.(*)